Pada dasarnya, saya bukan orang yang rewel. Saya belajar memahami kesulitan yang mungkin orang lain hadapi. Namun, sikap saya yang cukup positif ini, menyulitkan saya sebulan belakangan. Fluktuasi emosi saya meningkat meski cukup bisa saya kontrol.
Saya berusaha mengambil napas dalam, menenangkan diri, berusaha memilah luapan emosi negatif apa saja yang saya rasakan. Tidak mudah. Tekadang, godaan untuk bermental victim begitu melenakan. Namun, memendam amarah pun hanya menyusahkan diri saya sendiri.
Pada akhirnya, tak sia-sia pernah membaca tentang stoik, saya belajar untuk ingat kembali, bahwa ada hal-hal yang bisa saya kendalikan dan ada yang di luar jangkauan kendali saya. Terus terang, pengalaman itu amat membebani terkait endapan emosi negatif.
Ceritanya begini, tepat satu bulan, jemuran di rumah saya tidak dipasang kembali oleh para pekerja yang ditunjuk oleh pemilik kontrakan saya. Awalnya, saya diamkan saja, karena saya berpikiran, mereka pasti punya dedikasi dan tanggung jawab dengan apa yang mereka kerjakan. Namun, dua Minggu berlalu pasca jemuran saya di copot. Belum ada tindakan. Tentu saja, hal itu menyebabkan saya bertanya-tanya. Kenapa masih belum juga di pasang. Sementara, dinding sekitaran rumah sudah di cat semua. Saya pun, memilih kosa kata yang sopan dan mengeluarkan intonasi suara sehalus mungkin. Saya tanyakan baik-baik, mereka jawab, "emang sebelumnya ada jemuran ?" Detik itu juga, saya berusaha menahan diri untuk tidak tersulut. Saya jawab "jemurannya ada. Yang copot jemuran bukan saya. Teman pekerja bapak yang copot. Sudah dua Minggu tapi masih belum juga di pasang. Tolong lah pasang lagi. Saya repot dan sudah beberapa kali bolak-balik ke laundry" Saya tidak bisa menangkap ekspresi mereka, apakah sungguh-sungguh atau tidak peduli, dengan singkat mereka berujar " besok ya" .
Saya pun berusaha berpikir positif, mudah-mudahan besok jemuran saya di pasang lagi. Dan tahu kah kalian, lagi-lagi kesabaran saya diuji. Jemuran saya belum di pasang sama sekali. Mereka fokus mengerjakan hal yang lain. Ya Allah ...
Sambil mencoba menahan kesal, saya ulangi lagi permintaan saya dengan intonasi dan pilihan bahasa yang sama sopannya. Jawabannya mereka nggak punya tali tapi akan dipasang. Tunggu punya tunggu, dua Minggu pun berlalu, dan tak ada yang berubah. Saya masih harus keluar uang untuk biaya laundry. Sejujurnya, saya cukup dirugikan.
Maka, berkeluh kesah lah saya kepada Papa. Beliau orang terdekat. Yang paling saya harapkan. Namun, tanggapan Papa tidak seperti yang saya harapkan. Perasaan hati saya kacau balau, ingin menangis kencang. Andai saya bisa pasang jemuran sendiri, nggak bakal sudi saya memohon seperti ini. Meski itu bukan kesalahan saya.
Luapan emosi negatif tersebut saya tulis lewat status WA yang dibalas oleh teman lama saya. Dia terkenal dengan mulutnya yang barbar. Seketika saya membatin, kadang saya berharap punya mulut yang barbar. Sayangnya, mulut barbar saya berfungsi kalau emosi saya tersulut parah. Dan saya tidak sanggup membayangkan, muntahan kalimat macam apa yang akan saya keluarkan. Saya tidak berharap situasi seperti itu betulan terjadi.
Sampai saat ini, situasi belum berubah. Saya masih mengeluarkan biaya untuk laundry. Keluhan saya dianggap bak angin lalu. Di titik ini, tindakan terbaik yang bisa saya lakukan, menerima dengan lapang meski cukup sulit. Toh, segala daya sudah saya kerahkan tapi tak berhasil. Saya tak ingin larut dengan pemikiran mengapa ada sebagian orang tak punya integritas dan tanggung jawab terhadap pekerjaannya. Yasudah, kenyataanya memang ada jenis orang seperti itu.
Sama.. Says jugs gitu Mbak, berusaha sekuat mungkin untuk tidak menyakiti orang lain dengan perkataan yang mungkin menyakitkan. Tapi yah gitu, kelemahannya kadang ucapan kita hanya dianggap angin lalu yang tidak berarti.
BalasHapusTapi sekalinya marah, malah kadang mulut tidak terkontrol yang semuanya disebut, sampai kalau sudah sadar baru deh nyesal kenapa ndak menahan diri.
seandainya kalau kita berkata marah-marah, mungkin pekerja itu akan balas dendam ke kita karena sakit hati.
BalasHapustapi kita sendiri berusaha untuk ngomong baik-baik supaya pekerja itu nggak terkesan kayak dipaksa gitu. Dilema juga ya mbak
kita jadi kesel sendiri dan ditanggung sendiri juga