Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Kontemplasi

Renungan Awal Januari

Aku ingat dengan jelas euphoria yang melingkupi perasaanku saat tahu liburan sudah di depan mata. Yang artinya, aku diberikan jeda meski tak lama dari kebisingan dan hiruk-pikuk tempatku bekerja. Jangan bayangkan kalau aku akan dengan semangat menyusun rencana-rencana seru menyambut momen liburan. Aku belum dan tak terpikir ingin traveling. Atau mengunjungi teman lama sekadar berbagi kisah.  Pexels   Satu-satunya rencana liburan yang menyenangkan menurutku melakoni hidup yang santai, tanpa huru-hara, aku bisa bangun di pagi hari dengan tenang. Tanpa perlu memikirkan apakah aku sudah bangun tepat waktu ? Aku dilingkupi perasaan yang cukup damai. Aku menyesap kopi hitam hangat dengan tanpa ketergesa-gesaan. Setiap sesapan kopi kuhirup tanpa ambil pusing dengan apa yang mungkin akan terjadi dalam hidup.  Tampak tidak antusias dan ambisius. Sepertinya begitulah caraku bertahan dan tetap punya pandangan tidak sinis pada hidup. Karena, biasanya, aku susah mengendalikan pikiran un

Caraku Mencintai Diri

Foto : MizzYani Aku menemukan diriku belakangan kehabisan energi. Laju kehidupan menuntut diri bergegas dari satu jalur menuju jalur berikutnya. Bahkan memperoleh jeda di antara semua keriwehan demi bertahan hidup adalah hadiah mewah yang tak ingin kusia-siakan.  Mencintai diri sendiri kerap kali dilabeli egois. Padahal, yang mereka perlu pahami dapat mencintai dengan tulus dan menjalani hidup dengan sukacita dan penuh syukur hanya dapat diperoleh setelah mengutamakan pemenuhan bagi diri sendiri yaitu waktu untuk diri sendiri. Dapat bernapas dengan tenang. Berpikir leluasa tentang pencapaian dan tujuan hidup.  Menurutku, sebelum baik pada orang lain, haruslah lebih baik pada diri sendiri. Berbelas kasihan pada diri sendiri. Menepilah saat lelah melanda. Menetapkan batasan jelas kapan harus berkata ya dan tidak.  Baru-baru ini, aku menetapkan batasan jelas. Dan sama sekali tidak ada penyesalan. Pemulihan energiku menjadi prioritas. Pada akhirnya, aku hanyalah manusia biasa d

Lebaran Tidak Perlu Pulang

Foto : istockphoto Halo semua , selamat hari raya Idul Fitri 1443 H. Alhamdulillah, pada Lebaran kali ini, umat muslim di Indonesia sudah tak dibatasi lagi ruang geraknya. Kita bisa mudik tanpa was-was, bersilaturahmi dengan kerabat, yang pada lebaran sebelumnya terkendala oleh Covid yang yaaa gitu deh.   Buat saya, mudik bukan hal penting, saking tidak memprioritaskannya, saya bahkan lupa kapan terakhir kali menginjakkan kaki di kampung halaman. Sampai sekarang, saya masih ditelponin sama kakak sepupu yang paling perhatian dari semua sepupu yang ada. Dibujukin untuk pulang. Pulang ?  Memang kenapa harus pulang ? Saya bahkan dapat membayangkan bakal mati kebosanan berada di sana. Perlu saya jelaskan, saya tidak besar dan tumbuh di sana. Sesekali semasa kecil saat liburan tiba , Papa setengah memaksakan kehendaknya supaya saya mau berlibur di kampung. Yang mereka tidak ketahui, butuh seribu satu alasan untuk introvert sepertiku berada di sana. Kalo nggak nemu, nggak usah dip

Juli, Mari Jaga Diri Baik-Baik

Juni berlalu tanpa sempat kuajak duduk sembari berbincang tentang hidup yang makin tak pasti Juli pun bertandang, ingin tawarkan suka cita, secercah semangat tapi tak satu jua pun pijar diri terlecut Juli tahun lalu ataukah Juli tahun ini tak menyisakan perbedaan. Hmm, benarkah ?  Di sudut hari, di ujung lelah yang menggerogoti diri, kau tahu tiada guna berpikir sedemikian keras, yang dibutuhkan berpikir waras. Sekadar sehat, berkumpul dengan orang-orang tersayang, memiliki kebebasan memilih, tahu persis apa yang kauinginkan, serta mampu mengasihi di sela himpitan beban hidup merupakan kesyukuran yang harus terus terucap  Pandemi terus melaju. Jangankan istirahat , ia malahan giat dan liat. Macam-macam saja tingkahnya. Tahu tidak, tahun lalu ia masih dinamai si bedebah Corona. Di bulan Juli ia ciptakan nama baru, delta ? Hmm sungguh nama-nama ajaib yang membuatku sakit kepala  Baiklah,  Juli masih tak perlu disambut antusias namun tak lantas menihilkan imunitas  Mari jaga d

Memulai Tanpa Ribet

Hai semua pembaca blogku, hampir satu bulan lamanya blog ini gak pernah di-update. Ternyata, saya tidak berbakat multi-tasking. Kebukti blog terbengkalai karena kesibukan lain. Padahal, udah bertekad tapi niat saja tidak cukup. Saya harus  memulai tanpa ribet mikirin kata-kata yang harus ditulis. Kelamaan mikir hanya ngabisin waktu dan ujung-ujungnya aktivitas nge-blog tiarap. 😅 Nulis aja jangan ribet  -  Mizzyani_12 Resolusi tahun lalu, ingin fokus nge-blog, hingga suatu hari Tuhan sepertinya ingin saya ngerjain hal lain. Sempat ragu pada kemampuan diri sendiri. Tipikal introvert kayak saya energinya gampang menyusut kala harus berinteraksi lama-lama. Tapi, balik mikir, kalau introvert ini terus diberi ruang bermanja-manja, apa kabar keuangan saya ? Sementara, nge-blog masih tahap pemula belum bisalah menghasilkan pundi-pundi.  Akhirnya, saya terima job itu, dan alhamdulilah 2 bulan berlalu, ada plus minusnya. Plusnya keuangan nge-bul, minusnya gak punya waktu untuk nge-b

Refleksi Akhir Pekan

Andai boleh mengajukan sedikit pemintaan, maka saya menginginkan laju waktu yang tak pesat. Perlahan-lahan agar momen kebersamaan dengan diri bisa diresapi leluasa. 2 hari bahkan tetap terasa kurang, saya butuh waktu berhari-hari, berjeda sejenak, menjauh dari kebisingan dan keruwetan yang sudah mencapai ambang batas. Sedikit saja sudah mendekati titik batas toleransiku.  Betapa diri ini merindukan ketenangan, tak bersinggungan dengan makhluk lain selain saya dan diri sendiri. Bertenang. Meresapi tarikan napas setenang-tenangnya. Dapat bercengkrama selama yang saya mau dengan diri. Merefleksikan hari ke hari yang dilalui.  Saya tak butuh perjalanan menjelajah ke negeri antah berantah. Saya merasa cukup dengan duduk hening, dapat berpikir tenang, menulis isi hati tanpa tekanan, sesekali ikut bersenandung seiring lantunan suara penyanyi kesayangan.  Akhir pekan tak harus kemana, cukup kembali ke dalam diri, bercengkrama, memeluk diri sambil berbisik menyemangati, kamu sudah

Pandemi Sebagai Titik Balik

Terkadang, butuh sebuah momen untuk kembali menyadarkan diri pada cita-cita semula, terutama buatku. Berkali-kali kepengen menulis, ujung-ujungnya sekadar wacana semata. Di luar dugaan, ternyata Pandemi sebagai titik balik hidup   Selama ini, saya berlindung dibalik kesibukan, gak punya waktu hingga keraguan pada kualitas tulisan sendiri. Kira-kira tulisanku ada yang baca nggak yah? Atau, seandainya dapet kritikan pedas, mentalku siap nggak? Dan berbagai pikiran negatif lainnya yang menghambatku untuk menulis. Hingga, seperti yang disebutkan di atas, yang kubutuhkan sebuah momen kesadaran, dan momen itu berupa serangan Pandemi yang berlangsung hampir sepanjang tahun 2020.  Sungguh tahun tergila, paling absurd dan melelahkan. Begitu banyak hal yang mengaduk-aduk jiwa serta menguji ketahanan diri. Sempat insecure tapi ajaibnya menulis mengembalikan kepercayaan diri dan keberanianku lagi.  Akhir September, saya melirik blog yang sudah bertahun-tahun terbengkalai. Saya baca

Nostalgia Singkat

Minggu lalu, saya bersua kawan lama, intensitas pertemuan kami bisa dihitung pake jari, saking jarangnya. Kemajuan teknologi sekali pun tak jua mampu menjembatani komunikasi untuk lebih leluasa. Kesibukan menjalani kehidupan masing-masing berikut tantangan-tantangan yang kian hari kian tak mudah. Meski demikian, kami punya ikatan kuat yang sudah terjalin sejak lama, kesamaan latar belakang keluarga, berbagi suka duka serta canda tawa yang berujung menjadi memori manis yang masih lekat di ingatan.  Semula, saya hampir pasti tidak akan menghadiri undangan pernikahan yang dikirimkan virtual melalui grup chat "Konco Lamo", bukan antipati atau keburu paranoid diburu pertanyaan horor "Kamu kapan nih?". Jujur, saya sudah berdamai dengan diri sendiri dan sampai pada sebuah kesimpulan untuk tak usah riweuh memenuhi standar ideal versi orang lain. Karena itu saya lebih nyantai saja sih. Toh, sumber kebahagiaan itu banyak ragamnya kok. Tak mengapa, nggak perlu resa

Mendaur Ulang Rasa

Pertanyaan kepada diri, rutinitaskah yang menyita seluruh waktu dan tenaga, hingga mengurangi rasa cinta pada tumpukan buku. Ada beberapa tergeletak menunggu di baca sampai akhir. Ada yang meringis berdebu berharap ku sapa. Kusibak lembaran demi lembarannya. Mungkin bukan tak cinta. Aku masih memandangi tumpukan itu. Sesekali menyentuh. Mengibas debu pada covernya. Membaca meski tak lama. Perhatian ku segera teralihkan pada kegiatan lain. Tapi yang teramat sangat menyita perhatian kecanduan sosial media. Membaca sih setiap hari. Media saja yang berganti. Kasian buku-bukuku terpinggirkan. Aku perlu mengakrabi perasaan itu. Kala menggebu-gebu mendapati bacaan baru. Mencium aroma lembaran demi lembaran kertas. Terlarut serta hanyut pada cerita-cerita magis itu. Imajinasiku butuh berkelana. Mari meniatkan dan bertekad mendaur ulang rasa pada buku-buku. Jatuh cinta pada daya magisnya.

Perjalanan Dua Januari

Tak lagi ada yang perlu kurisaui Pada langit mendung Jalanan riuh bising Wajah-wajah tanpa satu pun kukenali Pada negeri antah berantah asing Tak lagi ada yang perlu kutakuti Kupasrahkan semua pada Ilahi Kuatkan langkah dan teguhkan hati Sebab pada akhirnya perjalanan tak pernah membiarkanku sendiri Akan ada teman-teman baru yang mengiringi Jangan cemasi ketersesatan Teruslah melangkah meski gemuruh ketakpastian menekan Membuka mata, melapangkan hati, menajamkan telinga Baca juga :  Pertanyaan Kesiangan Kejedot Tengah Malam Berakrab Ria dengan Bulan September Bibit Nyebelin Penghujung Oktober

Untuk Perempuan

Ia samar namun membayangi, ada dalam setiap tarikan nafas dan kemana kaki melangkah.  Ia menjelma doa-doa dalam badai perasaan. Ia yang terkadang coba ditepis namun tak terkikis. Satu dua potong kisah yang masih melekat cukup jadi pengingat bahwa ia ada meski tiada. Untuk perempuan tempatku sembilan bulan bernaung sebelum mataku melihat dunia Untuk perempuan dengan satu dua kenangan Untuk perempuan yang kisahnya menjadi ninaboboku Untuk perempuan yang sempat dan pernah kurindukan Untuk perempuan yang tidak pernah seutuhnya bersamaku Untuk perempuan dalam ketiadaanya Untuk perempuan yang mengenalkan apa itu perpisahan Untuk perempuan itu terima kasih sudah pernah ada meski tak lama meski tiada

Penghujung Oktober

Selamat sore menjelang senja. Bagi kami yang terkungkung asap kebakaran hutan selama beberapa bulan, guyuran hujan nan menderas adalah kado paling manis. Doa-doa kami pun terjawab di penghujung Oktober. Kami rindu langit biru. Parodi awan-awan lucu menggemaskan. Kami rindu melihat dengan mata jernih. Tanpa selubung kabut. Sudah cukup nafas kami dibikin sesak. Sudah cukup aktifitas kami terbengkalai. Sudah cukup rentetan tragedi yang memilukan hati.Kami rindu bermain bebas tanpa perlu didera cemas pada udara yang kami hirup. Tuhan tahu tapi menunggu. Menunggu kami manusia-manusianya untuk kembali sadar. Bahwa semua pun mengenal batas. Ketamakan dan rasa tidak puas hanya mengundang lara. Terima kasih Rabb, penghujung oktober kami dekap penuh haru.

Bibit Nyebelin

Jam tiga pagi, perut saya kepanasan, lambung saya tepatnya. Berusaha masa bodoh dan tetap selimutan gelisah. Bolak-balik kiri kanan. Akh .... saya menyerah. Percuma memilih berbaring slimutan. Toh, perut kepanasan terkutuk ini takkan bersedia kompromi. Jadi, saya terbangun satu jam lebih awal. Tak apalah. Saya bangkit dan duduk di kasur. Saatnya ritual pengumpulan roh. Ini penting. Biar mood saya selalu kece badai. Aiiih.... Tenangin diri. Tarik nafas dalam-dalam. Senyum manis. Owkay .... saya sibakkan selimut. Berdiri dan nyalakan lampu. Benda pertama yang saya cari tergeletak anggun di atas meja, masih tersambung charger. Well, ada berita seru apakah di timeline Twitter saya ? Atau pesan-pesan yang tak sempat terbaca. Karena saya memilih memejam lebih awal. Notifikasi pertama datang dari BBM. Ada beberapa yang masuk. Salah satunya balasan dari salah seorang teman. Oiya, saya paling benci disuruh nunggu lama. Tanpa membuang waktu handphone saya nonaktifkan dan terbang landas menuj

Tere Liye dan Bulan September

Apa September kamu sudah ceria seperti judul lagunya Vina Panduwinata? Well, jujur saya malah blom pernah denger gimana September Ceria-Vina Panduwinata, tapi akrab sama judul lagunya setiap bulan September datang. Atau segloomy dan segalau Wake me up when September End-nya Green Day kah kamu ? Bagi saya, September itu full kabut asap. No more blue skies. Buat ngehirup udara bersih aja susah. Kudu pasang masker kemana-mana tapi saya termasuk bandel. Ribet akh masker-masker segala. Tapi, buat yang berada di lokasi kejadian kebakaran hutan wajib hukumnya pasang masker. Berhubung sabtu kemaren itu kabut asap menjadi-jadi disertai angin kencang yang wuuuuus sepoi-sepoi badai. Ndak berani malala. Mingkem jadi anak rumahan sambil selimutan, ngopi, dan baca buku. Hmmm blakangan gegara kerjaan dan pinjam istilah keren sekarang traveling. Salah sekian dari hobi saya kepaksa terpinggirkan. Hidup kan memang kudu milih. Walau kalau bisa seandainya pun pengen banget traveling sambil baca. Tapi k

Kejedot Tengah Malem

Kemarin saya memilih memejam terlalu awal. Suasana kemaren sore nan dingin, so gloomy , huft .. saya berharap hujan turun deras. Sebab kabut asap teramat mengganggu bagi semua panca indera. Dan saya lelah mengingat atau terlarut bersama pikiran-pikiran di kepala tentang beberapa hal. Kesadaran ini baru ngeh ketika hari berubah gelap. Well , ternyata saya terninabobokan suasana. Baguslah bisa tertidur pulas tanpa pikiran-pikiran menggerogoti. I know , saya luar biasa addict sama sosial media. Terbangun tengah malam dan tanpa komando. Jari-jari saya lincah pencat-pencet handphone. Tersedot otomatis ke dalam jejaring media sosial. Beberapa pemberitahuan masuk. Kali ini saya lupa mematikan nada pemberitahuan. Saya mengukir senyum khas bangun tidur. Dering nada demi nada seperti penghiburan dalam suasana malam yang hening . Beberapa pemberitahuan saya lirik tapi tak berkesan. Mungkin saya menunggu sesuatu tapi belum menemukan apa yang sesungguhnya ditunggu. Kesadaran saya belum sepenuhny

Pertanyaan Kesiangan

Pertanyaan itu kau ajukan. Tepat ketika isi kepalaku tengah menjelajah imaji. Siang yang lain dari biasanya. Belakangan kita termasuk jarang mengumbar isi hati. Rutinitas pekerjaan,  masalah hidup, atau petualangan demi petualangan. Kita sempat terlena dalam semua. Sampai kau bertanya dengan polosnya, kenapa mau-maunya berteman denganmu? Berulang-ulang kau keluhi tentang betapa tidak menariknya dirimu. Kau tidak segegap-gempita kembang api. Kau menyebut dirimu hening. Larut dalam kata-kata yang tertahan dalam hatimu sendiri. Beberapa menyalahi sikap hening dan diammu. Akh ... tak usah pula kau pusingkan. Hiduplah dengan caramu. Bahagialah dengan apa yang kau punya. Banggalah dengan dirimu. Jangan bebani harimu dengan bayang-bayang. 'Cause a friend is someone who gives you total freedom to be your self'. Tak perlu menjadi kembang api kalau  memanasi tiap sela jarimu. Heningmu adalah pelengkap kenapa ikatan bernama pertemanan tercipta.