Kisah mendaki gunung marapi untuk pertama kalinya membekas di ingatan. Banyak pelajaran-pelajaran tentang hidup saya temui. Barulah saya menyadari bagaimana perjuangan tanpa kenal lelah itu. Untuk satu tujuan puncak gunung marapi.
Saya si pemula yang nggak patut ditiru sih. Tanpa persiapan. Serba ala kadarnya. Saya nggak sempet olahraga supaya stamina terjaga. Makan juga nggak banyak. Bekal ke marapi pop mie dua biji dan empat bungkus roti. Alas kaki pake sepatu santai dan sendal jepit buat jaga-jaga. Outfit baju kaus sama cardigan hitam plus celana jeans. What??? Celana jeans ? Haha silahkan ketawain betapa bodohnya saya.
Kadar kenekatan saya melonjak tinggi. Anggaplah efek kelamaan nungguin kesempatan. Semesta pun mengirim pertanda. Seperti saya yang tanpa sengaja nemuin grup ikatan pendaki gunung di facebook. Lama mengamati. Dan voilaaaa ... Lusiana namanya. Ia memposting bahwa sabtu sore akan mendaki gunung marapi. Saya pun membuka profilnya. Dan saya tanpa pikir panjang menuliskan keinginan saya untuk ikutan ke marapi lewat inbox. Gayung pun bersambut. Ia bersedia. Cihuiii
Gerimis menyambut kedatangan saya dan ayu di pos BKSDA marapi. Tak lupa di bawah tatapan tajam penuh cemoohan dan komentar pedes yang hampir meleburkan tujuan semula. Sebagai pemula saya mencoba bersikap tenang. Tak terpancing. Walau dalam hati gelisah campur bimbang. Sekali kaki melangkah pantang berbalik mundur ke belakang.
Terkadang kau perlu menulikan telinga. Menepis ragu. Membuang jauh-jauh ketakutan itu. Berani percaya dan bergerak mengejar impianmu. Memang tidak mudah. Tapi belajar hal-hal baru itu perlu. Membenturkan diri pada resiko membuatmu berjuang.Ketakutan itu spesial ketika kamu mampu melawannya. Merubah takut menjadi berani.
Jam setengah lima sore, setelah menunaikan shalat ashar di pesanggrahan. Saya dan ayu bergabung dengan dua teman Lusiana. Kami berlima memasuki hutan lebat. Di atas tanah becek kami melangkah. Menyandang ransel masing-masing. Saya lebih memilih diam. Ada beberapa cemas bermain dalam hati. Hanya lewat dzikir saya masih tetap tenang dan terus mantap melangkah.
Lusiana dan dua temannya adalah mereka yang sudah biasa melakoni pegunungan. Menyamai langkah kaki mereka bikin kami berdua ngos-ngosan. Lutut saya berasa mo lepas. Salah kostum euy. Ngapain juga dengan cerdasnya make celana jeans. Lusiana pun menawari saya celana gunung miliknya. Jadi kami pun berhenti. Penderitaan saya berkurang sedikit. Lumayan saya melangkah nggak terlalu berat.
Dalam perjalanan menuju cadas marapi. Tempat kami akan mendirikan tenda dan bermalam. Tak banyak yang bicara. Terlebih kami berdua yang hampir frustasi dengan beratnya medan. Serba buru-buru, nafas ngos-ngosan, peluh berlimpah ruah tetesannya, kepala sedikit oleng. Saya pun merutuki diri sendiri.
Apa ini beneran yang saya inginkan? Mendaki gunung sungguh tak mudah. Saya beneran letih. Tenaga saya udah mau habis. Saya cuma kepengen istirahat. Rebahan. Tapi, dimana ? Yang lain terus saja berjalan dalam gelap. Tak perduli tanah becek. Tak ambil pusing dengan hujan yang terus turun.Tidak. Saya harus berjuang habis-habisan. Saya nggak mau menyerah begitu saja. Dan mereka akan lihat. Saya tak bisa di pandang sebelah mata. Langkah saya memang tak cepat. Tapi soal keteguhan niat mereka perlu tahu saya pasti menyelesaikan apa yang saya mulai sampai akhir.
Setengah sepuluh malam, setelah jumpalitan jatuh bangun mandi lumpur kayak gembel. Sampai jualah di cadas marapi. Allahuakbar ... Malam itu malam minggu hujan rintik turun. Dalam tenda berteduh, dingin seakan enggan beranjak. Saya menggigil sampai shubuh. Mata saya pejamkan tapi pikiran tak mau diam. Saya tak sabar menunggu sunrise esok pagi, melihat kawah marapi dari dekat, atau duduk manis menatap bunga edelweis. Pendaki lain malam itu seolah gak kehabisan baterai. Semangat sampai shubuh. Menjelang pendakian ke puncak, mereka bernyanyi riang dibarengi petikan gitar. Kelakar demi kelakar disambut tawa. Buyar sudah buyar. Saya nggak bisa tidur. Hanya rebahan sejenak. Gunung tak sesunyi seperti seharusnya. Gunung bersaing seriuh pasar. Bising.
Komentar
Posting Komentar