Langsung ke konten utama

Postingan

Barisan Kata-Kata

Malam kian beranjak kelam. Putaran waktu tinggal menunggu laju tepat terhenti. Dan masih belum ku pilih lelap. Kata-kata memaksa diri untuk diungkap. Aku tahu matamu belum jua pejam. Sebentar menjelang perayaan. Pertambahan atau kah pengurangan jatah menjejaki bumi. Anggaplah pertambahan bagi suka cita bukan duka. Kalau pun duka sempat hadir. Aku yakin kau lebih dari sekedar kuat. Perjalananmu melampaui aku. Duka kita barangkali juga beriring. Hanya sepertinya kita teramat sangat malas mengeluhi nestapa. Cukuplah sela tawa jadi hiburan. Kekonyolan demi kekonyolan kita bagi. Tentang pengurangan, kita sikapi sebagai tahapan (sok) dewasa. Kenapa ? Sebab terlalu menyebalkan bila diri di minta terusan serius. Ada kalanya menjadi kekanak-kanakan jalan terbaik untuk tetap memandang bahwa dunia tercipta indah. Selamat untuk hari lahirmu, akan kusemati apa? Teman ? Sahabat ? Atau akh ... sistha lebih pas yah. Beriring segala doa-doa baik. Semoga terwujud segala ingin. Jangan pernah bosan me

Mendaur Ulang Rasa

Pertanyaan kepada diri, rutinitaskah yang menyita seluruh waktu dan tenaga, hingga mengurangi rasa cinta pada tumpukan buku. Ada beberapa tergeletak menunggu di baca sampai akhir. Ada yang meringis berdebu berharap ku sapa. Kusibak lembaran demi lembarannya. Mungkin bukan tak cinta. Aku masih memandangi tumpukan itu. Sesekali menyentuh. Mengibas debu pada covernya. Membaca meski tak lama. Perhatian ku segera teralihkan pada kegiatan lain. Tapi yang teramat sangat menyita perhatian kecanduan sosial media. Membaca sih setiap hari. Media saja yang berganti. Kasian buku-bukuku terpinggirkan. Aku perlu mengakrabi perasaan itu. Kala menggebu-gebu mendapati bacaan baru. Mencium aroma lembaran demi lembaran kertas. Terlarut serta hanyut pada cerita-cerita magis itu. Imajinasiku butuh berkelana. Mari meniatkan dan bertekad mendaur ulang rasa pada buku-buku. Jatuh cinta pada daya magisnya.

Perjalanan Dua Januari

Tak lagi ada yang perlu kurisaui Pada langit mendung Jalanan riuh bising Wajah-wajah tanpa satu pun kukenali Pada negeri antah berantah asing Tak lagi ada yang perlu kutakuti Kupasrahkan semua pada Ilahi Kuatkan langkah dan teguhkan hati Sebab pada akhirnya perjalanan tak pernah membiarkanku sendiri Akan ada teman-teman baru yang mengiringi Jangan cemasi ketersesatan Teruslah melangkah meski gemuruh ketakpastian menekan Membuka mata, melapangkan hati, menajamkan telinga Baca juga :  Pertanyaan Kesiangan Kejedot Tengah Malam Berakrab Ria dengan Bulan September Bibit Nyebelin Penghujung Oktober

Sabtu Seru di Istana Basa Pagaruyuang

Toleransi saya kepada rutinitas sifatnya berbatas. Kesibukan yang menyita waktu dan menguras tenaga membuat saya dipaksa pasrah. Liburan yaaa mager di kasur. Baca tumpukan novel. Atau nyanyi-nyanyi gak jelas. So far berhasil bikin saya punya pandangan positif.  Akh ... sepandai-pandainya mencari celah toh pada akhirnya ada batas toleransi juga. Ada hal-hal yang keburu kadaluwarsa. Sambil merenung, tercetus ide di kepala. Weekend saya akan coba solo traveling. Itung-itung uji nyali. Hmmm ... tempatnya nggak usah terlalu jauh dari kota Bukittinggi.  Karena untuk pengalaman pertama resiko kesasar seorang diri perlu diperkecil. Tergambar dan seyakinnya saya akan ke tempat itu. Dulunya pernah ke sana tapi barengan teman-teman. Keasyikan ngobrol membuat abai pada sekitar. Dan itu sering banget kejadian. Anggaplah ini semacam pengulangan kisah. Saya tentu ngumpulin informasi dan tanya sana sini. Nggak sabaran rasanya untuk memulai perjalanan. Mendapati diri di tempat yang sama sekali asing.

Untuk Perempuan

Ia samar namun membayangi, ada dalam setiap tarikan nafas dan kemana kaki melangkah.  Ia menjelma doa-doa dalam badai perasaan. Ia yang terkadang coba ditepis namun tak terkikis. Satu dua potong kisah yang masih melekat cukup jadi pengingat bahwa ia ada meski tiada. Untuk perempuan tempatku sembilan bulan bernaung sebelum mataku melihat dunia Untuk perempuan dengan satu dua kenangan Untuk perempuan yang kisahnya menjadi ninaboboku Untuk perempuan yang sempat dan pernah kurindukan Untuk perempuan yang tidak pernah seutuhnya bersamaku Untuk perempuan dalam ketiadaanya Untuk perempuan yang mengenalkan apa itu perpisahan Untuk perempuan itu terima kasih sudah pernah ada meski tak lama meski tiada

Menapaki Gunung Marapi

Panjang malam terasa. Udara nan dingin. Pakaian basah kena rembesan hujan serta keringat yang mengucur. Menggigil menyambut malam itu di cadas gunung Marapi, 2891 mdpl. Petikan dawai gitar. Nyanyian suara-suara manusia gunung. Obrolan serius atau sekedar kelakar. Sambil memicing mata, meredam gigilan namun gagal. Kualihkan pikiran. Mencoba mengingat perjuangan untuk sampai ke cadas. Hmmm ... dalam keadaan terjepit. Manusia sungguh akan berjuang mati-matian untuk bertahan hidup. Sebelum itu saya hanya punya dua pilihan. Menyerah kalah dengan catatan ngerepotin dan ngeselin mereka yang sudah bersedia menemani. Atau terus melangkah. Mengkuatkan hati. Menyemangati diri sendiri. Dan memelihara pikiran positif. Alhamdulillah ... Allah memberkahi setiap langkah. Meneguhkan hati ini. Padahal, jauh di lubuk hati kepengen nangis. Pengen teriak  udahan ajaaa ... Kesel campur bete tiap kali jawaban yang saya dapat dua  kelokan lagi. Namun, sepanjang jalan di pendakian itu, saya ketemu banyak ora

Menapaki Gunung Marapi part 2

Kisah mendaki gunung marapi untuk pertama kalinya membekas di ingatan. Banyak pelajaran-pelajaran tentang hidup saya temui. Barulah saya menyadari bagaimana perjuangan tanpa kenal lelah itu. Untuk satu tujuan puncak gunung marapi. Saya si pemula yang nggak patut ditiru sih. Tanpa persiapan.  Serba ala kadarnya. Saya nggak sempet olahraga supaya stamina terjaga. Makan juga nggak banyak. Bekal ke marapi pop mie dua biji dan empat bungkus roti. Alas kaki pake sepatu santai dan sendal jepit buat jaga-jaga. Outfit baju kaus sama cardigan hitam plus celana jeans. What??? Celana jeans ? Haha silahkan ketawain betapa bodohnya saya. Kadar kenekatan saya melonjak tinggi. Anggaplah efek kelamaan nungguin kesempatan. Semesta pun mengirim pertanda. Seperti saya yang tanpa sengaja nemuin grup ikatan pendaki gunung di facebook. Lama mengamati. Dan voilaaaa ... Lusiana namanya. Ia memposting bahwa sabtu sore akan mendaki gunung marapi. Saya pun membuka profilnya. Dan saya tanpa pikir panjang menulis