Panjang malam terasa. Udara nan dingin. Pakaian basah kena rembesan hujan serta keringat yang mengucur. Menggigil menyambut malam itu di cadas gunung Marapi, 2891 mdpl. Petikan dawai gitar. Nyanyian suara-suara manusia gunung. Obrolan serius atau sekedar kelakar.
Sambil memicing mata, meredam gigilan namun gagal. Kualihkan pikiran. Mencoba mengingat perjuangan untuk sampai ke cadas. Hmmm ... dalam keadaan terjepit. Manusia sungguh akan berjuang mati-matian untuk bertahan hidup. Sebelum itu saya hanya punya dua pilihan. Menyerah kalah dengan catatan ngerepotin dan ngeselin mereka yang sudah bersedia menemani. Atau terus melangkah. Mengkuatkan hati. Menyemangati diri sendiri. Dan memelihara pikiran positif.
Alhamdulillah ... Allah memberkahi setiap langkah. Meneguhkan hati ini. Padahal, jauh di lubuk hati kepengen nangis. Pengen teriak udahan ajaaa ... Kesel campur bete tiap kali jawaban yang saya dapat dua kelokan lagi. Namun, sepanjang jalan di pendakian itu, saya ketemu banyak orang. Macam-macam rupanya tapi mereka hangat dan tulus. Saling menyapa. Saling menyemangati. Wajah mereka sumringah tak terlihat gurat lelah. Kehangatan Marapi memancarkan semangat saya. Seperti kesetanan saya mendaki. Ngos-ngosan dan nggak pake alas kaki. Saya bahkan nggak ingat jeritan tapak kaki.
Jam empat pagi, saya harus bangun demi melihat matahari terbit. Momen langka dan tidak akan terlupakan. Barangkali, saking bahagianya saya nggak ngerasain lelah. Saya malah lupa blom mengistirahatkan kepala dari pikir tanpa ujung.
Pemandangan pertama setelah keluar dari tenda adalah bulan bulat penuh menggantung di langit. Singgalang berdiri kokoh. Gemintang di atasnya. Masya Allah ... merinding ngeliatnya. Sayang, saya hanya punya kamera hp abal-abal. Nggak bisa mengabadikan lewat gambar. Cukup terpatri dalam ingatan.
Tujuan selanjutnya puncak marapi. Seshubuh buta nan kelam, kaki-kaki melangkah lincah. Adzan shubuh menggema di penjuru. Shubuh nan syahdu menemani pendakian itu. Setelah melewati tugu Abel Tasman, tak jauh dari situ, saya dan teman-teman selonjoran. Menatap matahari terbit. Memandang kagum pada samudra awan putih. Asap kawah yang mengepul lembut. Dan di sinilah saya, sekarang ini nyata, saya sedang tidak bermimpi. Terima kasih ya Allah untuk semuanya. Terima kasih sangat telah membukakan jalan bagi terwujudnya mimpi ini.
Segelas kopi hitam hangat bergantian diminum. Berbagi makanan. Berbagi cerita serta tawa. Manusia-manusia gunung adalah mereka yang hangat, tulus, dan rendah hati. Salah seorang dari mereka pak Dedy. Yang bersedia ngebikinin kopi dan nyiapin makan pagi sambil saya memasang telinga mendengar kisahnya dan impiannya. Terharu ... semoga Allah kabulkan.
Setelah makan seadanya dan ngopi segelas bersama. Perjalanan dilanjutkan menuju
taman edelweis. Untuk sampai ke sana saya harus ngedaki melewati kawah marapi dan puncak merpati. Masih harus terus melangkah kaki ini rupanya. Tapi kelelahan tak terasa. Pemandangan sekitar luar biasa indah. Edelweis menanti. Banyak tangan memetik paksa ia. Mengcengkram ia jauh dari habitatnya. Edelweis seharusnya taman bungamu bermekaran. Kini tak kutemui. Tak bersedia tanganku memetikmu. Kubiarkan engkau tetap kukuh disana. Berharap semoga pendaki yang lain juga demikian.
Puncak sudah terdaki. Pulang dengan selamat adalah perjuangan selanjutnya. Dalam rintikan hujan pada tanah basah saya menuruninya tergopoh-gopoh. Banyak terima kasih untuk teman-teman yang sudi melapangkan hati dan mengulurkan bantuan. Tanpa itu saya tak mungkin mampu menulisi kembali.
Menapaki gunung marapi, menjelajahi setiap lekukannya, impian yang akhirnya terwujud. Tak ada yang mustahil ketika Allah akhirnya membukakan jalan. Yakinilah impianmu. Bagikanlah impianmu. Biarkan cemoohan itu. Tapi jangan melemahkanmu. Jadikan pelecutmu. Tak ada yang lebih melegakan setelah berjuang demi sebuah impian.
Komentar
Posting Komentar