Jujur saya harus geleng-geleng kepala sekalian tepuk tangan buat Dona, si travelmate. Entah pemikiran macam apa yang bersemayam di kepalanya kala itu. Dua jam perjalanan menempuh puncak lawang dari pasar Matur.
Bukan karena ndak punya duit. Kebetulan dana kami cukup berlebihlah. Makanya dalam kondisi mepet disempet-sempetin travelling. Dari semalem saya sudah nyiapin ya snack, minuman, outfit juga yang nyantai banget. Di kepala saya tergambar nanti sesampe di pasar Matur lanjut ngojek ke Puncak Lawang.
Tapi, kala itu entah Donanya kesambet. Atau saya yang ikutan sableng. Siang itu, kami berhenti di Pasar Matur. Seingat saya naik ojek yaa disekitaran pasar. Ternyata, ndak ada satu ojek pun yang mangkal. Kami putusin menyusuri lokasi sambil berjalan kaki. Berharap di perjalanan ketemu ojek.
Tanpa terasa setengah sudah perjalanan. Di bawah panas terik matahari siang itu kami menempuhnya. Muncullah pertanyaan di kepala saya dan tak bisa ditahan. Meluncurlah melalui mulut ini, "Na ini kita beneran jalan kaki nih ke sono ? "
Jawaban Dona sungguh di luar ekspektasi saya dan Icha,adeknya. "Iyalah, kenapa nggak? Yukz deket kok kayaknya".
Demi mendengar kata deket, okelah saya jabanin. Tak demikian Icha. Sambil merengek dia mengeluh capek dan kepanasan. Tapi kala itu Dona belagak jadi kakak tiri kayaknya. Hehe
Selama perjalanan menuju Puncak Lawang yang entah dimana rimbanya. Saya memilih sesekali hening. Menikmati sajian alam. Sekeliling saya hijau. Penyegaran untuk mata, hati, serta pikiran. Beberapa kenangan menyeruak satu persatu. Ketika masih jadi bocah ingusan bau kencur dan selanjutnya sesuatu yang seperti kemarin terjadi.
Sepanjang jalan kami mulai terbiasa ditatap aneh oleh pengendara motor atau mobil. Bahkan manusia yang berpapasan di jalanan menatap takjub. Ndak nyangka masih ada aja di zaman serba motor merajalela, ada tiga orang koplak jalan kaki panas-panasan ke Puncak Lawang.
Lupakanlah soal tatap-menatap itu. Lupakanlah juga senyum bahagia pasangan di atas motor itu. Sebab kami mengerti apa yang kami tempuh. Semakin aneh semakin menyenangkan ternyata perjalanan ini.
Saya puas menikmati keharuman aroma olahan tebu. Perlahan-lahan menyesap di ingatan. Atau terpana menyaksikan acara adat. Kebetulan ada yang baralek kala itu. Tanpa peduli sekitar. Saya cuek mengabadikan lewat kamera hp. Dan entah apa yang terpatri di benak mereka tentang saya.
Hampir 6 tahun lamanya, saya memutuskan berhenti membaca buku-buku karya Tere Liye . Bukan karena karyanya jelek. Melainkan, saya ingin eksplorasi karya penulis lain. Rasanya, hidup terlalu singkat, bila hanya dihabiskan membaca satu karya penulis saja. Mulailah saya bertualang dan mengoleksi berbagai buku yang menarik perhatian dan memperkaya wawasan dan sudut pandang. Hingga suatu hari, terbitlah novel karya Tere Liye yang berjudul Teruslah Bodoh Jangan Pintar. Novel yang rilis tanggal 1 Februari 2024 bertepatan dengan suasana menjelang pemilu. Jujur, saya sama sekali belum tertarik untuk membeli. Sekadar saya lirik di akun IG Tere Liye. Sampai saya ke-trigger oleh twit dari Ernest Prakasa yang memposting novel Teruslah Bodoh Jangan Pintar karya Tere Liye. Kaget dan nggak nyangka ! Ernest Prakasa baca novel Tere Liye !!!! Review-nya ini novel yang sungguh berani. Terlalu berani. Salut . Saya pun penasaran. Apakah novel Teruslah Bodoh Jangan Pintar akan se...
Komentar