Rumput tetangga selalu keliatan lebih hijau, sibuk menoleh pada pencapaian orang lain, lupa bahwa kita punya latar belakang yang beda. Gak memulai dengan langkah yang sama.
Pemahaman ini menyadarkan saya untuk tidak insecure dan menerima segala sesuatu dengan lapang. Tidak gampang reaktif melihat pencapaian orang lain. Ditanggapi dengan biasa-biasa saja.
Pandemi menempatkan saya pada situasi sulit, berita buruk seakan tak henti meneror hidup saya. Hidup dalam ketidakpastian. Saya lupa tidak ada yang pasti dalam hidup. Satu-satunya kepastian adalah perihal kematian. Itu pun di luar jangkauan pengetahuan kita sebagai manusia.
Kesannya serius sekali ya saya nulisnya. Nggak tahu juga kenapa ? Hehe Bawaan umur kali yaa, lebih nyaman baca buku non-fiksi. Jadi, secara gak langsung, bacaan yang saya lahap berpengaruh saat menguntai kata-kata.
Sejak lahir sampai di usia yang sudah tak belia, kerap kita dituntut harus mencapai ini dan itu. Harus begini dan begitu. Kalau keluar dari pakem atau nggak seperti pencapaian yang lainnya, kita dipandang sebelah mata. Manusiawi adanya bila perasaan itu muncul. Siapa sih yang rela diremehin ? Muncullah ajang pembuktian diri yang ujung-ujungnya menggerus kedamaian pikiran sendiri.
Iya, dulu saya kayak gitu. Sampai Pandemi menghajar saya bertubi-tubi, irama hidup melambat, saya tidak diburu-buru harus bangun pagi dan segera berangkat kerja. Tercerabut paksa dari lingkungan pertemanan yang beri saya rasa nyaman. Atau saya aja yang mikir nyaman. Padahal, nyaman bukanlah tempat yang baik untuk bertumbuh.
Saya punya banyak waktu berkontemplasi, mengenali diri lebih dalam, memahami penyebab anxiety berlebih, menerima keadaan diri yang tak sempurna, dan gak apa-apa kalo saya punya ritme yang beda dari yang lainnya.
Dulu saya akan lantang berkata, naik gunung Marapi sebagai pencapaian tertinggi, bertualang ke sana kemari bisa saya jadikan kebanggaan. Tapi, tidak. Nilai-nilai yang dulu saya anut berubah. Bagi saya sekarang, pencapaian tertinggi adalah dapat hidup dengan sadar, sadar dengan keputusan yang saya ambil, tidak ada kata menyesal di kemudian hari atau menyalahkan orang lain. Hidup sederhana dengan menaruh jutaan makna di dalamnya. Hidup yang bukan sekadar hidup melainkan hidup yang bawa manfaat dan kebaikan bagi sekitar.
Udah segitu aja, gak mau berlebihan tapi harus ada eits ... Agak berbelit-belit yah penjabaran capaian selama hidupnya. Maklum, kebanyakan baca buku non-fiksi. Hehe ...
halo Mbak Yani salam kenal 😆
BalasHapusaku juga merasa hal yang sama. selama pandemi hidupku juga melambat dan di saat-saat itu aku mulai mengerti dan belajar makna ikhlas. apalagi aku orangnya ambi banget jadi saat-saat itu bener-bener bikin aku sempet down hehe
beruntung nggak lama aku mulai bisa menerima keadaan. belajar tenang dan menghargai apa yang ada. aku jadi sadar, ternyata kenyamanan saat itu sempat bikin saya lupa diri.
semangat buat mbak yaniiii 😊
Halo juga mbaa Dea ... Selamat datang di blog MizzYani, salam kenal 😁
BalasHapusTerima Kasih mbaa Dea udah mau share di komen ini, iya Pandemi bak pengingat agar kita jangan lama-lama memeluk rasa nyaman, hehe ...
Mbaa Dea pun semangat yak 😁